MERAIH KEBIJAKSANAAN HIDUP

Pernahkah Anda berpikir, apa yang membedakan antara orang yang bijaksana dan orang yang tidak bijaksana? Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan seseorang? Apakah orang bijaksana adalah akibat dari keturunan?

Faktanya, tidak ada seperangkat gen umum yang ditemukan pada semua orang bijaksana. Orang bijaksana muncul dari berbagai bentuk, ukuran, warna kulit dengan berbagai sifat badan dan jiwa yag berbeda. Tidak ada dua yang persis sama. Orang bijaksana juga bukan melulu akibat dari pendidikan mereka, dan bijaksana juga bukan tidak dijamin oleh faktor lingkungan saja.

Ribuan penelitian filsafat pada dasarnya sampai pada jawaban meyakinkan bahwa kunci KEBIJAKSANAAN terletak dalam cara berpikirnya, CARANYA MENGGUNAKAN LOGIKA DAN AKAL SEHATNYA. BAGAIMANA SESEORANG MENJALANI PROSES BERPIKIR YANG BENAR DENGAN MENGHINDARI KESALAHAN ATAU KESESATAN BERPIKIR.

Yang perlu digarisbawahi bahwa: Kalau Anda mengubah cara berpikir tentang diri Anda, hubungan-hubungan Anda, sasaran-sasaran Anda, maka hidup Anda pasti berubah. Bila Anda mengubah mutu pemikiran Anda, mau tidak mau Anda akan mengubah mutu hidup Anda, dan akhirnya mengubah dunia Anda.

Sebaliknya, kegagalan untuk meraih kebijaksanaan adalah hasil dari gambaran-gambaran yang Anda simpan dalam pikiran Anda. Bila Anda berpikir bahwa diri Anda gagal mencapai kebijaksanaan, buruk, dan pikiran Anda tidak bermutu maka Anda akan mengalami kegagalan.

Pada saat ini, banyak dari kita berdiam diri membiarkan apa yang kita cita-citakan tetap menjadi impian saja tanpa benar-benar berusaha untuk mewujudkannya. Lantas apa yang menyebabkan kita tidak bisa merealisasikan Impian kita? bukankah kita sudah menginginkannya sejak lama bahkan sudah merencanakan berbagai cara maupun strategi untuk mencapai kebijaksanaan dan sudah bekerja keras untuk mengejarnya ?

Setiap orang pasti mempunyai cita-cita dan impian dalam hidupnya… seperti : memiliki banyak teman, menjadi orang yang suka beramal, bisa dekat dengan Tuhan, mengunjungi tempat-tempat yang menyejukkan hati, menikmati pengalaman spiritual yang luar biasa, dan bisa melakukan apa saja yang ingin kita lakukan bersama keluarga dan orang-orang yang paling kita sayangi dalam hidup kita. Kita ingin menjadi orang yang bijaksana yang bisa memberikan pencerahan pada orang lain dan seterusnya…

Tetapi pertanyaannya : “Kenapa banyak dari kita tidak bisa merealisasikan DIRI dari keinginan menjadi BIJAKSANA?”

Pertama : Selalu mengaitkan dengan masa lalu. Disaat kita mempunyai sesuatu yang berarti untuk diwujudkan seringkali kita tidak bisa lepas dari bayangan masa lalu. Kita mengingat kondisi hidup yang susah, serba emosional, uring-uiringan untuk mensikapi keadaan yang tidak membahagiakan, kita berkubang dalam keterbatasan, dan menemukan semua alasan kenapa kita tidak bisa berhasil, dst…

Kedua : Kita mempunyai ketakutan dan kecemasan. Sebelum melakukan sesuatu kita sering kali mempunyai ketakutan dan kecemasan yang berlebihan. Bagaimana kalau saya tidak bijaksana?, apa yang dikatakan orang tentang saya?, mereka akan menertawakan saya? Saya akan tambah frustasi jika saya sudah berusaha dan ternyata tidak mencapainya, dst…

Ketiga : Membiarkan sebuah perkara mengintimidasi kita. Sering kali kita membiarkan perkara mengintimidasi kita. Kita kerap mendengar kata-kata yang menurunkan semangat dan mengacaukan fokus kita bahkan mencuri keinginan kita untuk menjadi bijaksana. Anda tidak mungkin bisa berhasil menjadi bijak, jangan bermimpi, lakukan yang biasa-biasa aja, terlalu besar dan sulit dicapai. Udah terima nasib saja sebagai wong sak karepe dewe, dst…

Keempat : Tidak bisa melakukan sampai tuntas. Ini yang paling sering terjadi dalam hidup kita. Misalnya, memulainya perjalanan spiritual dengan antusias dan semangat yang mengebu-gebu, tetapi ketika menghadapi kendala cepat menyerah, tidak sanggup menderita dan tidak mau bayar harga sehingga melepaskannya begitu saja.

Kelima : Kita mempunyai sifat malas. Salah satu kebiasaan kita dan penyakit lama yaitu suka menunda-nunda tindakan dan rencana tindakan yang sudah ditetapkan. Menganggap masih ada banyak waktu dan masih muda sehingga sering kali tidak pernah memulai apapun bahkan sudah terlambat ketika kita sadar.

Jika kita mau berhasil mewujudkan impian untuk menjadi manusia bijaksana, kita harus segera menghancurkan lima penghalang mental (mental block) yang sudah ditulis diatas dan mengantikannya dengan lima kebiasaan baru yang akan menjadi titik tolak perubahan yang mendorong kita untuk segera merealisasikan keinginan. Saat ini juga !

Pertama : Fokus pada keinginan. Pikirkan APA HAKEKAT KEBIJAKSANAAN, susun rencana, gali potensi dan kelebihan, temukan strategi, cara dan segala kemungkinan untuk mewujudkannya dalam hidup sehari-hari.

Kedua : Yakin dan Percaya 100% bahwa Anda bisa. Keyakinan adalah modal utama untuk mendapatkan apapun yang Anda inginkan untuk menjadi BIJAKSANA. Segala sesuatu yang tidak mungkin dalam hidup ini hanya seringkali belum pernah di coba.

Ketiga : Lakukan saja sesuai dengan keinginan Anda. Ikuti kata hati Anda, LIHATLAH SEMUA FENOMENA DI LUAR ANDA DENGAN MATA HATI dan jangan terpengaruh oleh sesuatu yang akan merontokkan semangat Anda untuk menjadi bijak. Buatlah sejarah baru dalam hidup Anda.

Keempat : Selesaikan apa yang telah Anda mulai. Berani untuk memiliki mental MENJADI SEPERTI YANG TUHAN KEHENDAKI dan Jangan pernah memalingkan mata Anda sedetikpun dari garis finish.

Kelima : Mulailah sekarang, saat ini juga. Lakukan segera apa yang Anda rencanakan, apa saja. Orang bijaksana bukanlah orang yang hebat tetapi mereka adalah orang yang bisa menyadari lebih awal tentang hakekat hidupnya sehingga seringkali satu langkah lebih maju dari yang lain.

BIJAK BISA SEJAK MUDA, KENAPA MENUNGGU TUA?
BIJAK ITU PILIHAN, MENJADI TUA ITU PASTI!

Wah, ngapunten saya ngelantur nih…persis seperti orang gila di pinggir jalan tadi sore…

Wongalus
ReadmoreMERAIH KEBIJAKSANAAN HIDUP

MANUSIA PENGADA BENCANA

Entah sudah berapa kali sejak berdirinya Indonesia terjadi kecelakaan. Seingat saya, terlalu sering. Faktor teknis dan human error disebut yang paling sering jadi penyebab kecelakaan transportasi. Tuhan harus bertanggungjawab?

Suatu ketika Pesawat Garuda tujuan dari Jakarta ke Yogyakarta itu terbakar hebat di landasan pacu Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Saat landing, pesawat kehilangan kendali, tembok pembatas bandara ditabrak dan jebol, yang berakhir dengan terbakarnya seluruh badan pesawat hingga jadi arang.

Menteri Perhubungan saat itu Hatta Rajasa menuturkan dari total penumpang 133 orang itu, ada sekitar 76 orang sudah bisa dievakuasi luka ringan dan berat, sementara 57 penumpang tewas. Sementara awal kabin selamat.

Ironinya, maskapai penerbangan burung besi bernomor penerbangan GA 200, ini adalah Garuda. Konon, selama ini ia adalah ikon penerbangan di Indonesia, memiliki standar keselamatan yang bagus khususnya dibanding dengan maskapai-maskapai penerbangan lainnya. Kalangan awam akan membanding-bandingkan, bila Garuda saja bila celaka seperti itu, bagaimana dengan yang lain?

Jenis pesawat Boeing 737-400, itu sesungguhnya juga masih tergolong berumur muda, 8-9 tahun. Dengan usia yang belum terlalu tua untuk ukuran pesawat itu, dan bila setiap saat dilakukan perawatan rutin dan pergantian suku cadang yang wajar, sangat mungkin bila mesin dan hardware yang lain kondisinya masih prima. Termasuk software-softwarenya.

Pasca rentetan kecelakaan saat itu, Menhub mengaku pasrah nasibnya sebagai menteri kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kepasrahan orang nomor satu di jajaran transportasi Indonesia ini terkait berbagai kegetiran kecelakaan transportasi publik yang kian hari kian bertambah.

Belum hilang duka akibat sederet kecelakaan transportasi. Mulai tenggelamnya kapal KM Senopati, raibnya pesawat Adam Air, tergelincirnya kereta api, terbakar dan tenggelamnya KM Levina, pesawat Garuda yang hangus. Hal ini menunjukkan betapa buruknya manajemen transportasi di republik ini.

Transportasi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Untuk menunjang perkembangan ekonomi yang mantap perlu dicapai keseimbangan antara penyediaan dan permintaan jasa transportasi. Suatu kota atau wilayah akan berkembang apabila tersedia secara memadai sarana dan prasarana transportasi. Tanpa keduanya maka suatu daerah akan terisolir dan tidak berkembang.

Paham materialisme dalam transportasi terlihat lebih mendominasi dalam pengelolaan jasa transportasi publik. Prinsip ekonomi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya telah mencekoki cara berpikir para pengusaha negeri ini, termasuk pengusaha jasa transportasi. Lihatlah bagaimana manajemen Adam Air yang tega tidak mengasuransikan karyawan, pramugari dan pilotnya demi efisiensi perusahaan. Bagaimana KM Levina dan Senopati yang memuat manusia dan barang melebihi kapasitasnya tanpa mengindahkan keselamatan penumpangnya.

Meskipun untung merupakan faktor penting dalam manajemen transportasi untuk keberlanjutan pelayanannya, namun apabila faktor keamanan, keselamatan, kecepatan dan kenyamanan menjadi terabaikan maka masyarakat yang menjadi buntung. Menyerahkan sepenuhnya penyediaan jasa layanan transportasi mengikuti mekanisme pasar, mengakibatkan hancurnya sendi-sendi manajemen transportasi publik di negeri ini.

Oleh karena itu perlu dipertanyakan sejauhmana kinerja Departemen Perhubungan RI beserta dinas-dinas jajarannya dalam mengemban amanah. Meskipun pemerintah tidak secara langsung mengelola jasa layanan transportasi, namun wewenang dan tanggung jawabnya melekat dalam peningkatan kualitas layanan transportasi publik.

Berbagai peristiwa kecelakaan transportasi menandai melemahnya sistem kendali pemerintah dalam mengontrol manajemen transportasi publik. Akibatnya perusahaan dan para pelaku jasa layanan transportasi terkesan bebas atau liar dengan mengabaikan standar operasionalnya. Dengan demikian perlu dipertanyakan sejauhmana efektivitas regulasi-regulasi yang ada dan komitmen pemerintah dalam meningkatkan kualitas transportasi publik.

Kendali mutu dalam layanan jasa transportasi belum menjadi prioritas dalam manajemen transportasi publik. Punishment terhadap berbagai pelanggaran pun kurang transparan dan belum efektif dalam meningkatkan kualitas layanan. Akibatnya perjalanan menggunakan transportasi publik menjadi sebuah perjalanan yang mencemaskan dan tidak menyenangkan. Oleh karena itu reformasi di tubuh Departemen Perhubungan mutlak dilakukan.

Selain perbaikan sistemik sistem transportasi, saya ingin menyasar sesuatu yang lebih lembut dari itu, yaitu tentang sesuatu yang sangat dekat dengan diri kita, yaitu sisi spiritual.

Rentetan bencana yang mendera Indonesia, menyeret lamunan kita pada rasa geram; ketika kematian mengayau sewaktu-waktu di manapun, kapanpun, dalam momen apapun kita terseret dalam kesimpulan bahwa ada sesuatu yang salah keliru dan khilaf dengan negeri ini. Ada misteri besar yang menjadi tanda tanya, namun susah untuk dijawab secapa simplistis.

Tuhankan penyebab bencana ini? Pasti tidak. Tuhan bukanlah dzat yang Maha Kejam yang memerintahkan alam untuk membuat hukum yang kaku dan rigid pula. Alam dan Tuhan sejatinya sangat manusiawi. Bukankah Tuhan mendudukkan manusia pada derakat yang paling mulia di semesta?

Begitulah manusia. Kita terbiasa menyalahkan sesuatu pada hal yang ada di luar dirinya….

Alam dan Tuhan diciptakan oleh manusia. Bila manusia tidak ada, maka alam dan Tuhan juga tidak ada. Bagaimana bisa ada, bila tidak ada yang berpikir tentang alam dan Tuhan? Itu alasan, kenapa akhirnya Tuhan menciptakan Adam beserta keturunannya. Yaitu agar Tuhan dikenal dan “ada.” Logika ini juga berlaku terhadap bencana. Bencana ada karena manusia ada. Manusialah yang meng’ada’kan bencana.

Josiah Royce (1844-1912), filsuf Idealisme Amerika yang menelurkan gagasan hukum keempat “Yang Ada” menngatakan semua mengada karena manusia berkehendak. Kehendak akan menciptakan ide dan ide akan menciptakan yang ada. Sehingga semua bencana dan kesalahan ini adalah akibat dari manusia; yaitu perbuatannya.

Yang ada yang menjadi kenyataan buruk ini adalah hasil dari perbuatan dan perilaku yang buruk. Perilaku berakar dari kehendak dan ide yang buruk pula. Sebaliknya, Yang ada itu menjadi kenyataan yang baik bila berasal dari perbuatan baik dan berasal dari kehendak serta ide yang buruk jua. Ini berlaku tidak hanya pada level individual namun juga sosial.

Kesadaran semacam ini sudah sangat umum dalam khazanah spiritualisme sepanjang masa….

Bila dianalisis lebih lanjut, terutama merujuk pada ilmu psikologi kontemporer, maka 88 persen otak manusia dikuasai oleh alam bawah sadar. Sementara hanya 12 persen saja otak manusia yang benar-benar dipakai untuk berpikir rasional.

Dalam kehidupan seseorang alam bawah sadar atau sub-concious mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan alam sadar atau level conscious. Coba kita bayangkan kehidupan setiap harinya. Sebagian besar kegiatan, seperti bernafas, tidur, makan, minum, dan seterusnya kita lakukan tanpa harus berpikir lagi. Semua hal itu sudah menjadi kebiasaan. Contoh lain, saat kita mengendarai mobil ke kantor apakah kita memperhatikan berapa halte bus yang dilewati? Tentu tidak. Namun, otak merekam semua hal itu tanpa disadari. Inilah yang dimaksud dengan level sub-concious.

Karena yang paling besar otak kita bekerja di level sub-concious, maka yang tercipta, yaitu “yang ada” pun juga sebagian besar dari level ini. Pada titik inilah, kita bisa mengatakan bahwa bencana kini telah menjadi menu keseharian bangsa Indonesia ini adalah buah karya kehendak, pikiran dan perbuatan kita semua. Nah, sekarang bagaimana caranya menghindar?

Sesuai dengan hukum keempat “Yang Ada” itu, diperlukan sebuah katarsis, penyucian kehendak, pemrograman ulang terhadap alam bawah sadar kita. Diperlukan keberanian bersama untuk mengubah secepatnya, dari negative thingking menjadi positive thingking terhadap segala sesuatu termasuk juga di level bawah sadarnya. Sebagaimana saran dari seorang master hipnotis, bahwa cara termudah untuk menolak pengaruh hypnosis adalah mensugestikan diri disertai dengan perbuatan seketika yang langsung. “Satu,…dua,…tiga,… saya tidak bisa terpengaruh oleh sugesti penghipnotis….”

Nah, apakah kita sekarang akan memelihara lingkungan psikologis yang diliputi debu hitam yang kelam terhadap nasib bangsa kita yang penuh bencana? “Katakan tidak dan beranilah untuk berpikir positif.” Media massa juga memiliki pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi dan memelihara ritme kewarasan ini. Jangan malah sebaliknya, menularkan penyakit pesimis dan akhirnya menghipnotis massa agar kalah, negatif serta melahirkan bencana-bencana baru yang lebih dahsyat.

Wong Alus
ReadmoreMANUSIA PENGADA BENCANA

DILARANG MENYERAH PADA MUSIBAH

Musibah menjadi bagian penting dari kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan tanpa musibah dan tidak ada musibah bila tidak ada kebahagiaan. Dua hal ini mengisi manusia sebagai cara pemenuhan eksistensinya hingga ke liang lahat. Hukuman Tuhan atau bentuk kasih sayang-NYA?

Suatu kali dalam hidup kita pasti pernah ditimpa musibah. Musibah hadir baik secara secara individual dan juga sosial. Musibah individual di antaranya saat kita mengalami sakit, kekurangan uang, kegagalan prestasi, menganggur hingga akhirnya kita meninggal dunia. Sementara mujsibah sosial misalnya saat ada anggota keluarga kita yang sakit, bencana alam badai, banjir, menularnya penyakit, kebakaran, tsunami, tanah longsor dan sebagainya.

Saat terkena musibah, kita bisa putus asa. Masyarakat kehilangan harapan tidak memiliki masa depan. Tahap demi tahap apa yang kita bangun seakan tidak ada artinya. Bahkan kita menunjuk Tuhan sebagai biang keladi musibah, Tuhan tidak adil dan bahkan beranggapan bahwa Tuhan sedang marah.

Bagi seorang mukmin, musibah merupakan ujian yang menjadi batu loncatan bagi peningkatan kualitas keimanannya kepada Allah. Semakin arif dan sabar dalam menghadapinya, semakin tinggilah kualitas keimanannya dan semakin dekat dirinya kepada Allah. Tidaklah mengherankan jika segala jeritannya senantiasa didengar Allah. Semakin tinggi keimanan seseorang, akan semakin tinggi pula ujian yang akan Allah berikan kepadanya.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?’ Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q.S. 29: 2-3).

Untuk mengetahui sebab kehadiran musibah, marilah kita menukik ke hakikat musibah sehingga saat yang tidak menyenangkan ini hadir kita sudah siap dan ikhlas.

MUSIBAH berasal dari kata ASHAABA, YUSHIIBU, MUSHIIBATAN yang berarti segala yang menimpa pada sesuatu baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Dari asal kata ini, sesungguhnya kesenangan pun juga merupakan musibah. Begitulah, dalam hidup di dunia kita pasti menerima timpaan yang membuat respon diri apakah menjadi bahagia/senang maupun sedih.

Namun, umumnya dipahami bahwa musibah selalu identik dengan kesusahan. Padahal, kesenangan yang dirasakan pada hakikatnya musibah juga. Dengan musibah, Allah SWT hendak menguji AMAL seeorang. “Sesungguhnya kami telah jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, karena Kami hendak memberi cobaan kepada mereka, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya.” (QS Al−Kahfi (18): 7)

Membaca ayat ini kita bisa menggaris bawahi bahwa MUSIBAH ADALAH ALAT UNTUK MENGUJI –ATAU BAHAN UJIAN—APAKAH MANUSIA ITU BAIK ATAU BURUK.

Ada tiga respon dalam menghadapi musibah. Pertama, musibah dianggap hukuman dari Tuhan. Kedua musibah dianggap penghapus dosa. Ia tidak pernah menyerahkan apa−apa yang menimpanya kecuali kepada Allah SWT. Ketiga, musibah dianggap ladang peningkatan iman dan takwanya.

Mana di antara ketiga respon ini yang paling benar? Untuk menjawabnya kita analisa sebuah surat Asy-Syura (42), ayat 30: “Dan musibah apa saja yang menimpa Kamu, maka semua itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”

Pada ayat ini terdapat beberapa poin yang layak mendapat perhatian: Ayat ini dengan baik mengindikasikan bahwa musibah-musibah yang menimpa manusia adalah salah satu jenis hukuman dan peringatan Tuhan. Dengan demikian, salah satu falsafah terjadinya peristiwa yang mengerikan itu akan menjadi jelas.

Menariknya, dalam hadis yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin a.s., yang menukil dari Nabi saw., beliau bersabda, “Wahai Ali, ayat ini (Tidaklah menimpa Kamu musibah…) merupakan ayat yang terbaik dalam Al-Qur’an Al-Karim. Setiap goresan kayu yang menghujam ke dalam raga manusia dan setiap lalai dalam langkah terjadi akibat dosa yang dia perbuat. Dan apa yang dimaafkan oleh Tuhan di dunia ini lebih santun dari apa yang dimaafkan oleh-Nya di akhirat.Di akhirat sana terjadi peninjauan kembali, dan apa yang ditimpakan kepada manusia di dunia ini lebih adil ketimbang di akhirat, di mana Tuhan sekali lagi memberikan hukuman kepadanya.

Dengan demikian, musibah semacam ini selain meringankan beban manusia dalam kaitannya dengan masa mendatang, dia juga akan terkendali. Meski ayat ini secara lahiriah bersifat umum, dan seluruh musibah termasuk di dalamnya, akan tetapi pada kebanyakan urusan yang bersifat umum terdapat pengecualian. Umpamanya, musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan yang menimpa para nabi dan imam a.s. yang berfungsi untuk meninggikan derajat atau menguji mereka. Demikian juga musibah berupa ujian yang menimpa selain para ma‘shum a.s.

Dengan ungkapan lain, seluruh ayat Al-Qur’an dan riwayat menjawab bahwa ayat ini secara umum merupakan masalah yang mendapatkan takhshĂ®sh (pengecualian), dan tema ini bukanlah sesuatu yang baru di kalangan para mufassir.

Ringkasnya, berbagai musibah dan kesulitan memiliki falsafah yang khas, sebagaimana yang telah disiratkan dalam pembahasan tauhid dan keadilan Ilahi. Berseminya potensi-potensi di bawah tekanan musibah, peringatan akan masa mendatang, ujian Ilahi, sadar dari kelalaian dan arogansi, dan penebus dosa adalah salah satu corak dari falsafah tersebut.

Sebagaimana yang telah dipaparkan di awal artikel ini bahwa ada musibah yang bersifat sosial atau berdimensi kolektif. Hal ini merupakan hasil dari dosa kolektif. Sebagaimana yang tertuang dalam ayat 41, surat Ar-Rum (30), “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia ….”

Jelas bahwa ayat ini berkenaan dengan sekelompok anak manusia yang -lantaran perbuatan-perbuatan mereka sendiri- terjerembab ke dalam musibah. Dan pada ayat 11, surat Ar-Ra’d (13) disebutkan, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya.”

Ayat-ayat yang senada ini memberikan kesaksian bahwa antara perbuatan-perbuatan manusia dan sistem penciptaan dan kehidupannya memiliki hubungan yang berjalin erat, sehingga sekiranya ia menjejakkan kaki berdasarkan kaidah fitrah dan hukum-hukum penciptaan, keberkahan TUHAN akan meliputi kehidupannya. Dan apabila ia berbuat kerusakan, niscaya kehidupannya juga akan mengalami kerusakan.

Bagaimana respon kita untuk menghadapi musibah? Yang perlu dipikirkan bahwa PASRAH dan PASIF saat menghadapi musibah tidak selalu positif bahkan bisa jadi justeru mendapat murka Tuhan. Sebab dalam musibah sesungguhnya terkandung KAIDAH EDUKATIF DAN SEMANGAT KREATIF.

Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan kita pasrah diri dalam menghadapi setiap musibah dan tidak ada satu ayatpun yang melarang kita untuk berusaha memecahkan segala kesulitan. Termasuk justeru dilarangnya diri kita untuk menyerahkan jiwa raga kita kepada para penguasa yang dengan semena-mena menginjak hak asasi manusia. Begitulah, manusia haru mmecahkan persoalannya sendiri dan DILARANG MENYERAH PADA MUSIBAH.

Sebagaimana kata Rasulullah SAW: “Seorang mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, walaupun keduanya sama-sama baik (karena keimanannya). Berusaha keraslah untuk mendapatkan yang bermanfaat kepadamu dan memohonlah pertolongan kepada Allah serta jangan menjadi orang yang lemah. Jika suatu (musibah) menimpamu, janganlah kau berkata, ‘Sekiranya aku berbuat demikian, tentulah akan kudapatkan demikian dan demikian’, tetapi katakanlah, ‘Sudahlah ini takdir Allah, dan apa saja yang ia kehendaki pasti itulah yang tejadi’. Sebab ucapan ‘seandainya dan seandainya’ itu dapat membuka (pintu) setan” (H.R. Muslim).

Wong alus
ReadmoreDILARANG MENYERAH PADA MUSIBAH

REKREASI JIWA PALING NIKMAT

Ada satu satunya cara hidup bila ingin menikmati hidup: SHALAT KHUSYUK. Shalat adalah bentuk KOMUNIKASI DENGAN SANG MAHA TERKASIH ALLAH, PENCERAHAN, REKREASI JIWA yang tidak bisa ditandingi kenikmatannya dengan CARA apapun di alam semesta. Masalahnya, kemana pikiran harus kita arahkan saat kita melakukan ibadah shalat? Bila kita yakin bahwa shalat adalah meditasi tertinggi (meditasi transendental), maka seyogyanya kita pahami bagaimana menciptakan titik pikiran secara tepat sehingga shalat kita dikatakan khusyuk dan benar.

Agama Islam memiliki satu ritual wajib yang dilakukan lima kali sehari, yaitu SHALAT. Dalam sehari, ada lima WAKTU SHALAT yaitu saat subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan Isya. Shalat juga merupakan RUKUN ISLAM artinya sesuatu yang wajib dilakukan bila manusia sudah memeluk agama ini. Rukun Islam ada lima: SYAHADAT, SHALAT, ZAKAT, PUASA dan BERHAJI.

Ada juga shalat yang sifatnya tidak wajib, yaitu Shalat Sunnah. Ada banyak ragam shalat Sunnah yang ada dalam Islam. Namun karena sifatnya Sunnah, maka shalat ini bersifat melengkapi shalat-shalat wajib. Meskipun bersifat melengkapi, shalat sunnah bila dilakukan secara khusyuk disertai dengan niat hanya mengharapkan keridhaan Allah, maka nilainya sungguh luhur. Saking hebatnya ibadah shalat, sehingga dikatakan bahwa SHALAT ADALAH SOKO GURU DAN PONDASI AGAMA.

Yang perlu diperhatikan, kesempurnaan ibadah shalat memiliki dimensi individual dan sosial. Dimensi individual adalah bagaimana shalat itu dijadikan sarana untuk BERKOMUNIKASI dengan Tuhan. Sementara dimensi sosial shalat adalah bagaimana shalat membawa dampak positif bagi lingkungan sosial masyarakat dimana individu yang melakukan shalat itu berada.

Pada dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk MENYADARI KEBERADAAN TUHAN ITU DEKAT yang melampaui batasan ruang dan waktu sehingga kemanapun manusia berada maka DIA SELALU HADIR, MENGAWASI, MENJADI TEMAN PALING SETIA, DAN MENJADI KEKASIH YANG TIDAK PERNAH ABSEN SEDIKIT PUN UNTUK BERBAGI SUKA DAN DUKA sekaligus sebagai wujud KETUNDUKAN MANUSIA pada DZAT YANG SERBA MAHA DAN INFINITUM INI.

Kesadaran HAKIKAT SHALAT ini akan memiliki pengaruh kuat dalam mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 45 surat Al-‘Ankabut “Sesungguhnya shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan yang keji dan mungkar.” Ini sudah masuk dimensi sosial shalat.

Seseorang yang berdiri untuk melakukan shalat dan mengucapkan TAKBIR, mengakui bahwa Allah swt.; Dzat yang MAHA LEBIH dari segala yang ada dan kita mengingat semua kenikmatan yang telah diberikan-Nya. Dengan mengucapkan syukur, ia memohon curahan kasih dan sayang-Nya, mengingat hari pembalasan, mengakui ketundukan, melakukan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya, meminta petunjuk untuk mendapatkan jalan yang lurus, dan memohon perlindungan sehingga tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dimurkai oleh-Nya serta tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat.

Di dalam meditasi transendental shalat, pemusatan pikiran saat kita mengucapkan AL FATIHAH ini adalah MENGOSONGKAN GAMBARAN PIKIRAN APAPUN JUGA KECUALI GAMBARAN PIKIRAN YANG TIDAK DIBUAT OLEH KITA, MELAINKAN BIARKAN KITA MENERIMA GAMBARAN YANG DIBERIKAN OLEH TUHAN.

Kita pasrah, kita tidak lagi berusaha untuk fokus: semua penggambaran wujud Tuhan itu hanya dalam BAHASA, sedangkan saat shalat kita biarkan diri ini mengalir pasrah sehingga hidayah-NYA turun. Hidayah-Nya dalam Shalat ini berupa gambaran yang sangat tentang WUJUD-NYA, selain itu naik pada tingkatan bayangan dan gambaran yang paling dan sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh karena itu pengalaman dalam psikologi shalat ini disebut meditasi transendental yang susah untuk ditulis.

Awal kesadaran tertinggi tentang shalat sejatinya harus diikuti dengan tafakkur/berpikir tentang obyek-obyek kongkret sebelum akhirnya menuju ke obyek yang abstrak. PENGOSONGAN PIKIRAN DAN MELUPAKAN SEGALA KERUWETAN DALAM BENAK YANG DAPAT MENGGANGGU KEKHUSYUKAN SHALAT DAN KONSENTRASI PADA TUJUAN SHALAT: BAHWA KITA SEDANG BERHADAPAN DAN KOMUNIKASI DENGAN ALLAH.

Sebagaimana semua aktifitas lainnya, shalat juga butuh latihan. Khusyuk memang sulit namun bila berulang-ulang dilatih akhirnya juga akan mampu untuk PASRAH, TIDAK BERPIKIR TENTANG OBYEK SHALAT NAMUN MEMBIARKAN DIRI IKLHAS UNTUK HANYUT DALAM SHALAT.

Dalam taraf belajar shalat, bila pikiran kemudian melayang ke mana-mana maka seorang harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada “apa” yang ia pilih sebagai objek pikiran dalam SHALAT. Ia harus mengambil posisi badan yang rileks, otot-otot tidak kaku. Latihan ini harus selalu diulang-ulang, sehingga tahap demi tahap berfikirnya menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, pikiran menjadi bersih, jiwa menjadi terbang ke langit yang keluasannya TIADA BERHINGGA. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah, sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.

Seorang mukmin akan mudah memahami psikologi shalat yang demikian karena memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang penciptaan langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada objek yang MAHA TAK TERJANGKAU yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Tujuannya adalah upaya melepaskan atau menjauhkan dari pengaruh yang menggangu konsentrasi, keruwetan angan-angan pikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.

Sebagaimana seseorang yang bertafakkur bertasbih, dan bermeditasi akan dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan material menuju kebebasan menatap lepas ke atas, menuju pengetahuan yang luas tak terbatas.

Bila shalat kita sudah khusyuk diri kita akan mampu keluar badan kecil ini. Jiwa kita menjadi tidak terikat dalam wujud jasmani, mempunyai keluasan wujud dan kemampuan “melihat tanpa bola mata”, “mendengar tanpa daun telinga” dan merasakan keuniversalam jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang. “Inilah jiwa” yang memiliki “watak” yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal yang membedakan adalah “kemana akhir kembalinya sang jiwa”

Dalam shalat, ada tahap yang disebut RUKU’ yaitu dengan membungkukkan badan, laksana seorang hamba dan meletakkan dahi di atas permukaan tanah di haribaan suci-Nya untuk MENGAKUI KEBESARAN DAN KEMULIAAN-NYA DAN TENGGELAM DALAM KEAGUNGAN-NYA, SERTA MENGHAPUS SEGALA EGO DAN KESOMBONGAN yang ada pada dirinya.

Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan kesaksian atas keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya. Setelah itu, ia mengirimkan shalawat kepada utusan-Nya yang mulia, Rasulallah saw. dan menengadahkan kedua tangannya di bawah mihrab sucinya-Nya untuk memohon belas kasih supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang salih. Semua faktor ini adalah sebuah rekreasi spiritual yang tidak ada bandingannya, terbakarnya semangat spiritual, sebuah gelombang besar yang mampu melebur ke DZAT TUHAN.

Di dalam salah satu hadis dikisahkan bahwa pada masa Rasulullah saw., terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa mengikuti shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan kepada Rasul saw. Mendengar laporan ini beliau bersabda, “Suatu hari nanti shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya tersebut.”

Sedemikian pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian riwayat Islam disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat akan menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang telah diterima di sisi-Nya ataukah belum.

Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya”.

Bahkan, dapat diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji dan mungkar adalah mengingat/DZIKIR Allah). Pada prinsipnya, MENGINGAT ALLAH SWT. MERUPAKAN INTI DETAK KEHIDUPAN KALBU MANUSIA DAN PUNCAK KETENANGAN HATI. TIDAK ADA SESUATU PUN SELAINNYA YANG BISA MENCAPAI TINGKATAN SEMACAM INI.

Pembahasan tentang SHOLAT oleh karenanya bisa dirangkum sebagai berikut:
1. Sholat adalah ibadah terpenting dalam agama Islam setelah syahadat.
2. Hakikat dan filsafat shalat adalah mengingat Allah SWT.
3. Shalat merupakan media mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat.
4. Shalat merupakan media penghibur luka, barutan, dan goresan dosa di dalam ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang berbentuk shalat.
5. Shalat merupakan tanggul penghalang berbuat keji dan jahat
6. Shalat menguatkan iman di dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam hati.
7. Shalat akan menghancurkan kelalaian terhadap tujuan penciptaan dan tenggelam dalam kehidupan materi serta kelezatan-kelazatan duniawi yang hanya sekejap.
8. Dengan shalat, kehadiran-Nya terasa dekat.
9. Shalat menghilangkan kesombongan EGO dan merendahkan diri di hadapan-Nya.
10. Shalat itu penyempurnaan akhlak
11. Shalat menghidupkan hakikat keikhlasan dalam beramal
12. Shalat membawa kesucian hidup
13. Shalat itu Penguat Semangat Disiplin

Meskipun tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam shalat pada hakikatnya ia mengajak manusia untuk hidup dalam kesucian. Hal ini dapat kita ketahui dari syarat tempat yang dipergunakan untuk melakukannya, pakaian yang dikenakan, alas dan air yang dituangkan untuk berwudhu serta mandi. Dan juga tempat yang dipergunakan oleh seseorang untuk mandi dan berwudhu harus merupakan tempat yang betul-betul tidak terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh dengan cara zalim dan melanggar hak-hak orang lain.

Seseorang yang terkotori dengan kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat nafsu manusia seperti riba, ghasab, mengurangi timbangan dalam transaksi, korupsi dan usaha-usaha yang dilakukan dengan menggunakan kekayaan dari sumber yang haram, bagaimanapun akan mengotori ruhaninya sehingga akan melunturkan diri yang telah shalat. Oleh karena itu, pengulangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan sebuah AJAKAN UNTUK MENGHORMATI HAK-HAK ORANG LAIN.

Shalat juga akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia, karena bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan mengakhirkan atau mempercepat dari waktu yang seharusnya akan menyebabkan batalnya shalat yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan aturan dan hukum-hukum lain dalam masalah niat, berdiri, ruku’, dan sujud. Memperhatikan semua ini akan menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari menjadi betul-betul mudah dan lancar.

Terakhir, pembahasan tentang shalat akan ditutup dengan sebuah hadis; Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. suatu ketika ditanyakan tentang makna shalat “Tujuan disyariatkannya shalat adalah PENGAKUAN TERHADAP KETUHANAN ALLAH SWT, MELAWAN SYIRIK DAN PENYEMBAHAN BERHALA, BERDIRI DI HADAPAN HARIBAAN-NYA DALAM PUNCAK KEKHUSYUKAN DAN KERENDAHAN DIRI, MENGAKUI DOSA-DOSA SERTA MEMOHON PENGAMPUNAN-NYA TERHADAP DOSA-DOSA YANG TELAH DILAKUKANNYA, DAN MELETAKKAN DAHI UNTUK HORMAT KEPADA-NYA.

Demikan juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya manusia senantiasa TERJAGA, AWAS ELING DAN WASPADA. Hati yang tercerahkan tanpa ada keakuan yang berlebihan, tidak sombong dan mabuk dengan diri dan hartanya, agar manusia menjadi orang-orang yang khusyu’ dan tawadhu’, serta mencari dan mencintai TUHAN. Selain konsistensi doa-doa kepada Allah sepanjang hari dan malam yang dihasilkan dari sinar shalat, shalat akan membuat manusia menemukan JATI DIRI YANG SESUNGGUHNYA.

Insya Allah.

Wong Alus
ReadmoreREKREASI JIWA PALING NIKMAT

MENCAPAI INTI DOA

Awalnya ini adalah jawaban dari pertanyaan Sahabat Terkasih– Ki Sabda Langit tentang HIJIB, yang ternyata mengantarkan perenungan kepada hakikat doa. Atas kekurangbenaran artikel ini, saya mohon maaf karena ini sekedar refleksi dari saya pribadi.

Salam saya haturkan kepada Allah SWT, satu-satunya Tuhan di semesta alam, junjungan Nabi Muhammad SAW kekasih-Nya dan keluarga, para Nabi dan Rasul, wali-wali-Nya, umat Islam, umat Kristen, umat Protestan, umat Hindu, umat Budha, umat Kong Hu Chu, macam-macam penganut alirat kepercayaan, ulama, intelektual, kaum sufi, kaum terpinggirkan dan tersisihkan, kaum miskin papa, serta kaum yang tidak saya ketahui dimana pun kini berada. Serta seluruh makhluk penghuni jagad raya….

Ki Sabda, ngapunten sebelumnya. Rasa-rasanya saya kok tidak pantas untuk memberikan penjelasan karena masa sih saya menjelaskan kepada yang lebih tahu? Apakah nanti tidak kuwalat, ki? Tapi sebagai wujud asah asih asuh maka mungkin ada baiknya juga kita sharring pengetahuan.

Ki Sabda bertanya tentang beda antara HIJAB dan HIJIB. Dalam kamus perbendaharaan agama, HIJAB artinya tabir, selubung, dinding yang dalam istilah para sufi lebih mengarah pada sesuatu yang bersifat ruhaniah, sifat-sifat kotor manusia, nafsu (berbagai jenis), keterbelakangan akal, ketersesatan akal, keterbenaran akal yang belum sujud dll.

Adapun HIJIB, Hizb, Hizib artinya DOA atau kumpulan doa dari para alim-ulama, syaikh yang diyakini oleh kalangan tertentu memiliki energi yang hebat untuk mengetuk pintu langit. Membuka kunci gudang kegaiban karena kelembutan dan tuning yang pas dengan kehendak-Nya. Di masyarakat Islam khususnya, kita mengenal banyak hijib. Hijib yang terkenal di antaranya Hizbun Rifa’i oleh Syaikh Ahmad Rifai, Hizbun Nasor oleh Syaikh Abi Hasan Asy Syadili, Hizbun Nawawi oleh Imam Nawawi, dan sebagainya.

Saya sejatinya termasuk orang yang belum begitu paham, kenapa ada doa-doa yang diijabahi/di-ACC oleh Tuhan dan kenapa pula ada doa yang belum/tidak di-ACC. Tapi dengan prasangka yang baik bahwa diijabahinya doa atau tidak, Tuhan sesungguhnya lebih tahu kepantasan apakah satu doa itu harus diterima atau tidak.

Pada kesempatan kali ini ada baiknya kita menganalisis secara filsafati soal doa sehingga akhirnya kita semua memahami hakikatnya. Meskipun kita tetap tidak percuma untuk berdoa meskipun belum mengetahui hakikat doa, tapi saya rasa akan lebih sreg bila kita yang alhamdulillah dikaruniai akal budi ini untuk memikirkannya, sesuatu yang kita ucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bukankah kunci ibadah adalah doa? Bukankah dari dari doa tercermin siapa diri kita sesungguhnya? Bukankah dari doa tercermin perilaku dan tata cara kita mengolah kedirian?

Mereka yang tidak mengenal hakikat doa mungkin berpendapat bahwa doa merupakan faktor yang melumpuhkan manusia: “Bukan saatnya lagi hanya menengadahkan tangan untuk meminta sesuatu kepada Tuhan, sudah seharusnya kita melakukan usaha, memanfaatkan sains dan teknologi, serta mengisi kesuksesan yang dicapai justeru dengan doa bukankah membuat orang malas berusaha?”

Ada yang berpendapat sbb: “Pada prinsipnya, apakah berdoa bukan berarti ikut campur dalam pekerjaan-pekerjaan Allah? Padahal kita mengetahui bahwa apapun yang menurut Allah baik untuk dilakukan, maka Dia pasti akan melakukannya. Dia mempunyai rasa kasih sayang kepada kita. Dia lebih mengetahui kebaikan untuk diri kita dibanding diri kita sendiri. Oleh karena itu, mengapa kita harus menginginkan sesuatu dari-Nya setiap saat?”

Di saat lain ada yang berpendapat: “Selain dari semua yang telah tersebut di atas, bukankah doa justru bertentangan dengan keridhaan dan penyerahan diri pada kehendak Allah?”

Kritikan dan sanggahan semacam ini sebenarnya belum memahami kenyataan psikologis, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek spiritual doa dan ibadah. Karena pada dasarnya, untuk meningkatkan kemauan dan menghilangkan segala kegelisahan, manusia membutuhkan kehadiran sesuatu yang bisa dijadikan media untuk menyandarkan dan menggantungkan kepercayaannya. Dan doa adalah pelita harapan di dalam diri yang diliputi kegelapan.

Masyarakat yang melupakan doa dan ibadah, pastilah akan berhadapan dengan reaksi yang tidak sesuai dengan psikologi sosial. Ketidaaan ibadah dan doa di tengah-tengah suatu bangsa sama artinya dengan kehancuran dan keruntuhan bangsa tersebut. Sebuah masyarakat yang telah membunuh rasa butuh kepada doa dan ibadah biasanya tidak akan pernah terlepas dari keruntuhan dan kemaksiatan.

Tentu saja, jangan kita lupakan bahwa beribadah tidak hanya di saat saat tertentu saja dan menjalani waktu yang ada seperti seekor binatang liar yang membunuh sana-sini tidak ada manfaatnya sedikitpun. Ibadah dan doa harus dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan, pada setiap kondisi, dan melakukannya dengan penuh khidmat sehingga manusia tidak akan kehilangan pengaruh kuat dari doa ini.

Mereka yang setuju dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh doa, tidak memahami hakikatnya. Karena doa bukanlah berarti kita menyingkirkan dan melepaskan tangan dari segala media eksternal dan faktor-faktor alami, lalu menggantikannya dengan berdoa.

Maksud dari doa adalah setelah melakukan segala usaha dalam mengunakan seluruh fasilitas kemanusiaan yang ada, barulah kita berdoa untuk menghidupkan semangat harapan dan gerak dalam diri kita dengan memberikan perhatian dan menyandarkan diri kepada Allah SWT, Sebab Utama Bergeraknya Jagad Raya ini.

Namun sesungguhnya doa tidak hanya dikhususkan pada persoalan-persoalan yang menemui jalan buntu, bukan sebagai sebuah faktor yang menggantikan faktor-faktor natural. Selain akan memberikan ketenangan, doa juga akan menghidupkan gairah batin dalam aktifitas otak manusia, dan terkadang pula akan menggerakkan hakikat manusia sebagai makhluk yang paling mulia.

Dalam kenyataannya, doa akan menampakkan karakternya dengan indikasi-indikasi yang sangat khas dan terbatas dalam diri setiap manusia. Doa akan menampakkan kejernihan pandangan, keteguhan perbuatan, kelapangan dan kebahagiaan batin, wajah yang penuh keyakinan, dan potensi hidayah. Doa oleh karenanya menceritakan tentang bagaimana menyambut sebuah peristiwa. Ini semua merupakan wujud sebuah hazanah harta karun yang tersembunyi di kedalaman ruh kita. Dan di bawah kekuatan ini, harta orang-orang yang mempunyai keterbelakangan mental dan minim bakat sekalipun, akan mampu menggunakan kekuatan akal dan moralnya dan mengambil manfaat yang lebih banyak darinya. Ironisnya, di dunia kita ini sangatlah sedikit orang-orang yang mau untuk mengenali secara mendalam hakikat doa.

Jelaslah sekarang bahwa doa sesungguhnya sejalan dengan ridha (kerelaan) diri kita untuk mengakui keterbatasan, mensyukuri yang sudah ada serta mengarahkan kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Dengan perantara doa pula manusia akan menemukan perhatian yang lebih banyak untuk memahami berkah Allah swt. Ini jelas merupakan usaha untuk mencapai kesempurnaan manusia dan sebagai bentuk penyerahan diri pada hukum-hukum penciptaan. Selain itu semua, doa merupakan ibadah, kerendahan hati, dan penghambaan. Dengan perantara doa, manusia akan menemukan cara baru berkomunikasi terhadap Dzat Allah.

Dan apabila dipertanyakan, “Doa berarti campur tangan di dalam pekerjaan Allah. Padahal, Allah akan melakukan apapun yang menurut-Nya bermaslahat”, mereka tidak memperhatikan bahwa karunia Ilahi akan berikan berdasarkan kelayakan yang dimiliki oleh setiap orang. Semakin besar kelayakan seseorang, maka ia akan mendapatkan karunia Allah secara lebih banyak pula. Sebagaimana Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, “Di sisi Allah SWT terdapat sebuah kedudukan di mana seseorang tidak akan sampai ke sana tanpa melakukan doa.”

Sebagai penutup, doa, shalat, dan iman yang kuat terhadap agama akan menghilangkan kegelisahan, ketegangan, dan ketakutan-ketakutan yang merupakan penyebab dari separuh kegundahan manusia dalam peradaban modern yang semakin menjauhkannya dari jati dirinya sendiri sebagai makhluk yang memiliki hati nurani yang mampu menerobos tembus (tadabbur) ke arasy Tuhan.

Salam asah, asih dan asuh dan mohon koreksi dari Pembaca Terkasih.

Wong alus
ReadmoreMENCAPAI INTI DOA

70 RIBU JENIS HIJAB

Kenapa Tuhan Yang Maha Kuasa memberi keterbatasan pada manusia sehingga manusia tidak mampu langsung “melihat” Nya? Itu disebabkan karena kebanyakan mata manusia tidak mampu melihat betapa luar biasa “CAHAYA” yang terpancar pada Dzat-Nya. Hanya manusia yang berusaha keras ingin melihat, dan sudah memiliki PERSIAPAN KHUSUS yang mampu untuk melihat CAHAYA MAHA CAHAYA. Kecuali bila Anda diijinkan Tuhan melalui jalan pintas.

Dia akhirnya tersungkur, pingsan, tidak sadarkan diri, ekstase saat ingin melihat Dzat-nya yang sangat terang. Matanya nyaris buta bila dia tidak pingsan. Bahkan bisa-bisa langsung lenyap tanpa bekas. Menjadi arang bahkan debu pun saya rasa masih luar biasa.

Dialah Nabi Musa atau Moses –begitu orang Barat menyebut – saat menantang agar Tuhan menampakkan diri dalam wujud fisik. Bayangkan saja bagaimana bila kita melihat matahari dalam jarak ratusan kilometer sebagaimana jarak Musa melihat Tuhan? Pasti Musa akan terbakar habis, bis! Itu hanya satu matahari, bagaimana bila …dua…tiga…empat… semilyar sinar matahari yang kekuatan membakarnya dijadikan satu?

Sejatinya, Tuhan adalah Dzat yang Bukan Maha Pembakar. Dia adalah Maha Lembut dan Welas Asih, sehingga akhirnya dia menyapa Musa dengan bahasa kasih sayang. Tuhan memberikan cara untuk melihat-Nya: Hai Musa, Kau harus ekstase!. Musa hanya diminta untuk tidak menyadarkan “diri” yang masih diliputi oleh tirai kemanusiaan. Diri yang belum siap untuk bertatap “MUKA” dengan-NYA.

Bagaimana sesungguhya kehebatan CAHAYA TUHAN? Dalam Kitab Suci disebutkan dengan bahasa analogi, bahasa perumpamaan, agar manusia berpikir. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan CAHAYA-NYA adalah ibarat misykat. Dalam misykat itu ada PELITA. PELITA itu ada dalam KACA. KACA itu laksana bintang berkilau. Dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat. Yang minyaknya hampir-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun tidak ada API yang menyentuhnya. CAHAYA DI ATAS CAHAYA! ALLAH menuntun kepada CAHAYA-NYA, siapa saja yang Ia kehendaki. Dan ALLAH membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh ALLAH mengetahui segala sesuatu. (QS AN NUR, 35).

Kenapa Tuhan membuat perumpamaan dengan MISYKAT, KACA, PELITA, MINYAK DAN POHON? Jawaban ini tercantum dalam Hadits: Allah mempunyai tujuh puluh hijab (Tirai Penutup) CAHAYA dan KEGELAPAN. Seandainya DIA membukanya, niscaya CAHAYA WAJAHNYA akan membakar siapa saja yang melihatnya.

Masalah utama dalam untuk mengenali Dzat Tuhan yang tidak terbatas adalah ilmu dan pengetahuan dan akal kita sebagai manusia yang terbatas. Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup, ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.

Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, bagaimana mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak terbatas? Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud nir-batas? Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.

Dari sisi lain, wujud tanpa batas dari segala dimensi ini tidak memiliki keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah TUHAN SEMESTA ALAM. Sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya menjadi terbatas. Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan keserupaan?

Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang mungkin, sedangkan sifat- sifat wajib al-Wujud berbeda dengan sifat yang lainnya. Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan sifat-sifat-Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh: Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan: “Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah”. Artinya, jangan membahas ihwal Dzat Tuhan.

Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang DZAT YANG TANPA BATAS melalui akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil. Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal.

Pengetahuan ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat. Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat Dia? Dan bagaimanakah Dia?

Ketika kita mengarahkan pikiran ke arah realitas DZAT TUHAN, kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa takjub. Kita akan mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah terbuka, dan jalan untuk menyentuh hakikatnya adalah tertutup. Itulan sebabnya, DZAT TUHAN dalam kitab suci hanya dipaparkan dalam bahasa perumpamaan saja. Namun perumpamaan dalam kitab suci, kita yakin bukan asal perumpamaan.

Perumpamaan ini hanya bisa bisa diinterpretasi dengan akal yang panjang dan hati nurani yang bersih, bening, tenang dan ikhlas. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana jalan atau cara untuk sampai pada pintu Tuhan, selanjutnya Bertemu dan Mampu untuk “melihat” Dzat-Nya?

Pada artikel saya terdahulu telah disebutkan bahwa jalan untuk menuju Tuhan adalah perjalanan untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit, kotoran, nafsu-nafsu kemanusiaan sehingga kita akhirnya hati kita benar-benar bersih, berkilau dan akhirnya memiliki MATA HATI YANG BISA MELIHAT DZAT-NYA. Nurani yang terkoneksi secara otomatis sehingga “KEMANA KAU MENGHADAP DISITULAH WAJAH ALLAH.”

Sekarang, marilah kita menganalisa secara lebih detail apa saja HIJAB/ PENGHALANG/ TABIR PENUTUP/ DINDING yang harus dilewati oleh para pejalan sunyi yang dengan gigih ingin bertemu, bertamu, dan melihat WAJAHNYA YANG MAHA INDAH….

70 RIBU HIJAB

Dalam Hadits disebutkan sebagai berikut: Allah mempunyai tujuh puluh (riwayat lain menyebut tujuh ribu, tujuh puluh ribu) hijab CAHAYA dan KEGELAPAN. Seandainya DIA membukanya, niscaya CAHAYA WAJAHNYA akan membakar siapa saja yang melihatnya. Berarti manusia dari awalnya berstatus MAHJUB: dalam keadaan tertutupi dinding/hijab dari Tuhan. Manusia tidak mampu melihat TAJALLI pada Dzat-Nya (Tajalli: Menyatakan diri setelah hijab-Nya terbuka/tersingkap.

Dari TUJUP PULUH HIJAB tadi, menurut Al Ghazali bisa dikategorikan menjadi TIGA. PERTAMA: YANG TERHIJAB OLEH KEGELAPAN MURNI. KEDUA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA YANG BERCAMPUR DENGAN KEGELAPAN. KETIGA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA MURNI SEMATA-MATA.

PERTAMA: YANG TERHIJAB OLEH KEGELAPAN MURNI. (1). Tidak yakin ADA Tuhan (ATEIS). (2). Yakin penyebab segala sesuatu BERASAL DARI MATERI, DAN DARI ALAM. (3). Sibuk dengan DIRI SENDIRI, tidak sempat mempertanyakan penyebab terwujudnya alam semesta. Terlena dengan HAWA NAFSU, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Hawa Nafsu adalah sesembahan yang paling dibenci oleh Allah SWT.” Ketiga hijab ini memiliki banyak varian lagi.

KEDUA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA YANG BERCAMPUR DENGAN KEGELAPAN. Kegelapan berasal dari INDERA, Kegelapan berasal dari DAYA KHAYAL, Kegelapan berasal dari RASIO/ AKAL YANG SALAH.

(1). Menyembah BERHALA hingga percaya TUHAN BERJUMLAH DUA ATAU BANYAK. Termasuk percaya alam semesta itu Tuhan Yang Maha Indah. Percaya bahwa Tuhan bisa dilihat (mahsus). Mereka yang terhijab oleh CAHAYA KETINGGIAN, KECEMERLANGAN, KEKUASAAN, yang kesemuanya memang CAHAYA-CAHAYA ALLAH SWT (seperti menyembah bintang). Percaya bahwa Tuhan itu adalah Matahari, Tuhan adalah semua hal yang bercahaya> percaya bahwa Tuhan adalah CAHAYA MUTLAK YANG MENGHIMPUN SEMUA CAHAYA. Masih banyak lagi variasi hijab tingkat ini.

(2). Menganggap Tuhan bertubuh, yakin bahwa keberadaan Tuhan BISA DITUNJUKKAN di arah tertentu misalnya DI ATAS, termasuk mereka yang percaya bahwa Tuhan berada di luar alam dunia atau di dalam dunia. Sesungguhnya mereka ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang dapat dicerna akal adalah kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.

(3). Mereka yang menyimpulkan dengan akal namun salah KESIMPULAN. Menyimpulkan bahwa Tuhan memiliki sifat mendengar, melihat, mengetahui, menghendaki sesuai dan menyetarakan dengan sifat-sifat manusiawi. Sifat Tuhan adalah sama seperti sifat manusia. Masing masing memiliki variasi hijab.

KETIGA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA MURNI SEMATA-MATA. Kategori ketiga ini berjumlah sangat banyak, namun untuk mempermudah bisa dipilah sbb:

(1). Mengetahui benar-benar sifat-sifat Allah SWT tidak sama dengan manusia,

(2). Percaya penggerak semua benda planet ini adalah malaikat yang berjumlah banyak. Percaya bahwa Ar Rabb (Tuhan Maha Pengatur dan Pemelihara) adalah Penggerak seluruh benda. Padahal, Ia wajin DINAFIKAN DARI SEGALA BENTUK KEMAJEMUKAN.

(3). Percaya bahwa Perbuatan MENGGERAKKAN BENDA-BENDA SECARA LANGSUNG sepantasnya merupakan bentuk PELAYANAN KEPADA TUHAN. Percaya bahwa TUHAN MAHA PENGATUR ini adalah memiliki penggerak utama lagi dengan cara mengeluarkan perintah bukan menangani secara langsung. Ringkasnya, mereka yang masih terliputi HIJAB TINGKAT TINGGI ini terhijab oleh CAHAYA-CAHAYA MURNI.

(4). Ini adalah hijab bagi ORANG-ORANG YANG TELAH SAMPAI DI AKHIR PERJALANAN (Al Washilun). Mereka percaya AL MUTHA (yang ditaati) ini, bagaimanapun juga masih memiliki sifat yang berlawanan dengan KEESAANNYA YANG MURNI DAN KESEMPURNAAN YANG MUTLAK. Padahal, YANG DITAATI/YANG DIPATUHI yaitu sesuatu yang menjadi penghubung antara Tuhan dengan alam semesta ini, dalam hubungannya dengan AL WUJUD AL HAQQ adalah seperti matahari dengan cahaya murni atau bara api dalam hubungannya dengan substansi api.

Ini juga hijab bagi mereka yang telah sampai di akhir perjalanan. Yaitu pemahaman bahwa TUHAN ADALAH YANG MAHA TERSUCIKAN DARI PARADIGMA KEMANUSIAAN, baik itu oleh mata maupun oleh mata hati. Mereka mengalami keadaan yang menyebabkan TERBAKARNYA SEGALA YANG PERNAH DICERAP OLEH PENGELIHATAN, lalu ia sendiri ikut larut kendati masih terus menatap KEINDAHAN dan KESUCIAN disamping menatap dirinya sendiri dalam KEINDAHAN yang diraihnya dengan telah mencapai HADRAT ILAHIYAH.

Selain itu, masih ada golongan kecil yang sebenarnya sudah sampai di akhir perjalanan spiritual namun ternyatan masih terhijab, yaitu mereka yang berada pada tingkat KHAWASUL KHAWAS (yang spesial di antara yang spesial). Mereka telah TERBAKAR oleh cahaya WAJAH-NYA dan telah TENGGELAM dalam gelombang KEAGUNGAN. Mereka tidak lagi memiliki perhatian pada diri sendiri, karena DIRI TELAH FANA! Tidak ada satupun yang ada kecuali YANG MAHA SATU DALAM KETUNGGALAN: Ini sesuai dengan Firman-Nya: SEGALA SESUATU BINASA KECUALI WAJAH-NYA.

Yang perlu diketahui, ada pula yang tidak menjalani pendakian atau MIKRAJ dengan cara setahap demi setahap untuk menyingkirkan hijab atau penghalang sebagaimana yang harus dilakoni oleh Nabi Ibrahim Khalilullah A.S. (Sahabat Tuhan). Ada yang cepat telah meraih MAKRIFAT yaitu mampu MENSUCIKAN TUHAN DENGAN CARA YANG BENAR. Mereka tiba-tiba bisa diserbu oleh TAJALLI ILAHI (Ketersingkapan Hijab di antara Tuhan dan manusia) sehingga cahaya-cahaya wajah-Nya membakar segala yang bisa dicerap oleh pengelihatan mata indera maupun mata hati sebagaimana jalan yang dilalui oleh Nabi Muhammad SAW, sang Habibullah (Kekasih Tuhan).

Wong Alus
Readmore70 RIBU JENIS HIJAB

PUSAT STUDI JIN

Saya pernah berkeinginan mendirikan sebuah pusat studi yang barangkali belum ada di Indonesia: PUSAT STUDI JIN. Untungnya, saya tersadarkan telah memetakan soal yang terlalu rumit dan absurd…

Jelas saya mengalami kesulitan untuk mencari referensi dari ilmu pengetahuan apa yang menelaah soal jin. Ilmu pengetahuan (sepanjang saya tahu) tidak ada yang membahas fenomena yang sedemikian diyakini oleh masyarakat luas ini. Sehingga di dalam psikologi, sosiologi, politik, ekonomi, fisika, kimia, biologi serta cabang-cabang ilmu tersebut tidak ada yang memetakan soal jin ini secara gamblang dan jelas.

Masyarakat banyak yang menganggap soal-soal jin dibahas dalam ilmu metafisika. Padahal, sepanjang saya mengerti metafisika sama sekali tidak membahas soal jin ini. Metafisika adalah dasar dari filsafat yang lahir di Yunani. Istilah metafisika berasal dari Aristoteles yang menunjuk pada ide-idenya setelah membahas soal fisika (Meta-ta physika).

Metafisika dengan demikian adalah hasil perenungan agung para pemikir yang ingin mencari hakikat yang ada dengan tujuan ingin mencari kebijaksanaan. Sementara metafisika yang dipahami secara klenik lebih mengedepankan pada aspek pragmatisnya saja dan tidak ada hubungannya dengan Metafisika dalam frame filsafati.

Kembali ke soal JIN, tidak salah bila akhirnya saya perlu membuka-buka IBU DARI SEGALA ILMU PENGETAHUAN yaitu KITAB SUCI. Mengingat dalam ilmu pengetahuan modern, tema tentang jin ini dianggap tidak rasional. Ilmu mana yang berani unjuk gigi menganalisa jin dari satu obyek forma (sudut tinjau khusus)? Alih-alih membahas secara detail, mendefiniskan jin saja para ilmuwan sudah harus gigit jari.

Itu sebab jin adalah makhluk yang tidak tampak namun bereksistensi dalam ruang dan waktu. Jin tidak hanya konsep abstrak seperti matematika. Namun ia diyakini benar-benar ada. “Dan kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS Al-Hijr 15:27).

Makhluk ciptaan Tuhan dapat dibedakan antara yang bernyawa dan tak bernyawa. Di antara yang bernyawa adalah jin. Kata jin menurut bahasa (Arab) berasal dari kata ijtinan, yang berarti istitar (tersembunyi). Jadi jin menurut bahasa berarti sesuatu yang tersembunyi dan halus, sedangkan syetan ialah setiap yang durhaka dari golongan jin, manusia atau hewan.

Dinamakan jin, karena ia tersembunyi wujudnya dari pandangan mata manusia. Itulah sebabnya jin dalam wujud aslinya tidak dapat dilihat mata manusia. Kalau ada manusia yang dapat melihat jin, maka jin yang dilihatnya itu adalah jin yang sedang menjelma dalam wujud makhluk yang dapat dilihat mata manusia biasa. “Sesungguhnya ia (jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kalian (hai manusia) dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS Al-A’raf 7:27).

Istilah jin ini tercantum di dalam Al-Qur’an, di antaranya:

1. Sebuah makhluk yang tercipta dari kobaran api, berbeda dengan manusia yang diciptakan dari tanah. …Dan Ia menciptakan jin dari kobaran api. (QS. Ar-Rahman [55]: 15)

2. Makhluk ini mempunyai ilmu, daya maham, dan kemampuan untuk menentukan yang hak dan yang batil, serta dapat berargumentasi. (Hal ini terdapat dalam berbagai ayat dari surat Al-Jin).

3. Mempunyai taklif (kewajiban) dan tanggung jawab. (Silahkan rujuk ayat-ayat dari surat Al-Jin dan Ar-Rahman).

4. Sekelompok dari mereka adalah mukmin yang salih, dan sekelompok yang lain adalah kafir. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang salih, dan di antara kami ada pula yang tidak demikian. (QS. Al-Jin [72]: 11)

5. Mereka mempunyai Hari Mahsyar, Kebangkitan dan Hari Akhir.
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahannam. (QS. Al-Jin [72]: 15)

6. Mereka sebelumnya mempunyai kekuatan untuk menembus langit, mendapatkan khabar, dan mencuri pendengaran yang kemudian dilarang oleh Allah swt. Dan sesungguhnya kami dahulu bisa menduduki tempat di langit itu untuk mendengarkan [berita-beritanya]. Akan tetapi, sekarang, barangsiapa [mencoba] untuk mendengarkan [seperti itu] tentu akan menjumpai panah api yang mengintai [untuk membakarnya]. (QS. Al-Jin [72]: 9)

7. Mereka melakukan interaksi dan komunikasi dengan sebagian manusia dan dengan pengetahuannya yang terbatas tentang rahasia Hari Akhir, mereka berusaha menyesatkan manusia. Dan bahwasanya ada beberapa orang lelaki di antara manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa lelaki dari golongan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS. Al-Jin [72]: 6)

8. Di antara mereka ditemukan individu-individu yang mempunyai kekuatan yang luar biasa, sebagaimana hal ini juga sering didapatkan di dalam dunia manusia. Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin, “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya [dan aku] dapat dipercaya. (QS. An-Naml [27]: 39)

9. Mereka mempunyai kekuatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi kebutuhan manusia. … dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya [baca: di bawah kekuasaan Nabi Sulaiman a.s.] dengan izin Tuhannya. … Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, dan piring-piring yang [besarnya] seperti kolam, serta periuk yang tetap [berada di atas tungku] …. (QS. Saba’ [34]: 12-13)

10. Penciptaan mereka di atas bumi lebih awal daripada penciptaan manusia….Dan Kami menciptakan jin sebelum [Adam] dari api yang sangat panas. (QS. Al-Hijr [15]: 27)

Selain itu, dengan merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an bisa dipahami dengan baik bahwa manusia adalah sebuah makhuk yang lebih sempurna dari jin. Ini didukung oleh realitas bahwa seluruh utusan Tuhan diangkat dari kalangan para manusia, tidak ada satupun Rasul dari jin.

Dalam salah satu ayatnya Tuhan berfirman, “Dan [ingatlah] ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu sekalian kepada Adam.’ Maka, sujudlah mereka kecuali iblis, dan ia adalah dari golongan jin ….” (QS. Al-Kahfi [18]: 50) Jin disini bisa dipahami secara sederhana yaitu merujuk pada makhluk, namun juga bisa diartikan secara lain…

Semua penjelasan yang telah diutarakan adalah pembahasan mengenai makhluk yang tidak bisa diraba ini dari pandangan Kitab Suci yang semua pembahasannya tidak tercemari statemen-statemen non-ilmiah. Sayangnya, banyak beredar pemahaman jin yang tidak berdasarkan kitab suci. Di antaranya, jin dianggap sebagai makhluk yang mempunyai bentuk mengerikan, berbahaya dan senantiasa mengganggu, menimbulkan permusuhan dan kedengkian, melakukan perbuatan yang sangat jelek, dan seterusnya.

Sementara, apabila kajian tentang jin ini dipisahkan dari keyakinan yang keliru maka kajian bisa betul-betul logis. Meskipun jin tidak bisa dilihat, tapi ini bukan alasan untuk menjadikan pembahasan tentang jin disebut tidak rasional. Bukankah banyak makhluk yang bisa diketahui oleh panca indera lebih sedikit dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang tidak bisa diketahui oleh panca indera?
Pada kurun terakhir, yaitu sebelum para ilmuwan mampu menemukan adanya makhuk-makhluk hidup yang bisa dilihat dengan mikroskop, tak seorang pun yang percaya bahwa di dalam setetes air atau setetes darah ternyata terdapat beribu-ribu makhluk hidup yang manusia tidak mampu melihatnya. Ini berarti mata kita hanya melihat warna-warna yang terbatas, telinga kita hanya mampu mendengar frekuensi gelombang suara yang terbatas pula.

Yang bisa diketahui dalam hal ini adalah tanda-tanda keberadaan jin. Umpamanya, jin yang menampakkan diri pada seseorang di rumah atau ditempat-tempat tertentu. Atau anggota rumah/kantor yang sering kehilangan uang sementara menurut perkiraan sangat tidak mungkin ada orang yang mencuri. Atau orang sering kesurupan kalau memasuki tempat tersebut. Itu adalah bagian dari indikasi gangguan jin di tempat tersebut.

Jika sudah ada gangguan, maka solusi versi agama Islam yaitu Ruqyah Syar’iyyah,  yaitu membaca ayat-ayat Al Qur’an dan doa-doa. Selain cara itu tentu saja masih banyak solusi menurut agama dan keyakinan lainnya. Ada pun jika tidak ada gangguan di rumah atau di tempat kita, maka pendeteksian keberadaan jin-jin jahat tak perlu dilakukan.

Demikian juga masalah deteksi jin pada diri seseorang. Tidak ada orang yang dapat melihat keberadaan jin secara pasti dalam tubuh seseorang. Untuk memastikan keberadaan jin yang memasuki tubuh seseorang bisa dilihat tanda-tanda sebagai berikut:

Gejala waktu terjaga, di antaranya:

  •     Badan terasa lemah, loyo, dan tidak ada gairah hidup.
  •     Berat dan malas untuk beraktivitas, terutama untuk beribadah kepada Allah.
  •     Banyak mengkhayal dan melamun, senyum dan bicara sendiri.
  •     Tiba-tiba menangis atau tertawa tanpa sebab.
  •     Sering merasa ada getaran, hawa dingin, atau panas, kesemutan, berdebar, dan sesak nafas saat membaca Kitab Suci yang menyebut Nama Tuhan.
Gejala waktu tidur, di antaranya adalah:
  •     Banyak tidur dan mengantuk berat, atau sulit tidur tanpa sebab.
  •     Sering mengigau dengan kata-kata kotor.
  •     Melakukan gerakan-gerakan aneh, seperti mengunyah dengan keras sampai beradu gigi.
  •     Sering bermimpi buruk dan seram atau seakan-akan jatuh dari tempat yang tinggi.
  •     Bermimpi melihat binatang-binatang seperti ular, kucing, anjing, singa, serigala yang seakan-akan menyerangnya.
  •     Bermimpi ditemui jin yang mengaku arwah nenek moyang atau tokoh tertentu.
  •     Saat tidur merasa seperti ada yang mencekik lehernya atau menggelitikinya dan menendangnya.
Satu hal penting yang perlu mendapatkan perhatian pula adalah, bahwa jin terkadang mengindikasikan satu arti yang lebih luas; yang meliputi pula makhluk-makhluk hidup yang tidak bisa dilihat, yaitu mereka yang mempunyai kemampuan rasionalitas dan pemahaman maupun mereka yang tidak mempunyai kemampuan tersebut. Bahkan, sekelompok hewan yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan biasanya bersembunyi di lubang-lubang termasuk pula ke dalam arti ini.

Bukti atas pernyataan di atas adalah sebuah hadits.  Rasulullah saw bersabda:  “Allah menciptakan jin dalam lima spesis: pertama, spesis seperti angin dan udara (yang tidak bisa diraba), kedua, spesis dengan bentuk ular-ular, ketiga, spesis dengan bentuk kala jengking, keempat, spesis dengan bentuk serangga-serangga bawah tanah, dan kelima, spesis yang mempunyai kedudukan sebagaimana manusia, yang pada kelompok ini terdapat pula hisab dan balasan.”

Dengan memperhatikan riwayat ini dan arti yang begitu luas tentang jin, banyak perkara yang telah dijelaskan dalam riwayat-riwayat dan cerita-cerita berkaitan dengan jin akan menjadi terpecahkan.

Misalnya dalam sebagian riwayat, sahabat nabi Ali bin Abi Thalib a.s. berkata, “Janganlah meminum air dari bagian gelas yang pecah atau dari bagian pegangannya, karena setan duduk pada bagian pegangan dan pada permukaan bagian yang pecah tersebut.”

Dengan memperhatikan bahwa setan adalah jin dan bagian gelas yang pecah serta pegangannya merupakan tempat berkumpulnya kuman dan bakteri, maka sangat tidak mungkin bila jin dan setan dalam arti umumnya meliputi pula makhluk-makhluk semacam ini, walaupun mempunyai makna yang khusus. Yaitu, sebuah makhluk yang mempunyai pemahaman, inteligensia, tanggung jawab, dan kewajiban.

Melihat begitu peliknya soal jin,.. akhirnya saya putuskan untuk menunda gagasan untuk menelorkan ide membuka PUSAT STUDI JIN ini. Barangkali ada pembaca yang ingin mendahului?

Wong Alus
ReadmorePUSAT STUDI JIN